-->

Hachiko

AKU menangis hari ini. Tidak sampai mengeluarkan suara memang. Hanya air mataku tiba-tiba melimpah membasahi kelopak yang kering. Kurasai tangisan itu, menikmati sensasinya yang luar biasa. Bagiku, menangis adalah sesuatu yang sakral dan istimewa. Terutama setelah aku beranjak dewasa.

Tangisanku bukan sakit hati karena dihianati. Atau khusyu' berdoa bersama saat pengajian. Bukan pula ditinggal pacar atau dipecat dari perusahaan. Aku menangis hanya karena seekor anjing dalam film "Hachiko: A Dog’s Story". Bukan karena aku terpukau oleh akting Richard Gere, melainkan hanya men
angisi kisah kesetiaan anjing yang melebihi batas kelaziman.

Sungguh, aku tak peduli wibawaku anjlok karena menangis di bioskop. Aku juga tak mengerti, padahal saat menonton "Ratapan Anak Tiri" pada masa kecilku tak sedikit pun air mata keluar. Saat adegan kakak beradik Netty dan Susi dipaksa mengepel, mencuci piring dan makan nasi basi oleh ibu tirinya yang kejam aku masih bisa tersenyum. Meski tangisan pilu dua anak tiri itu membuat aku terharu, tapi untuk menangis aku merasa malu. Apalagi sewaktu kecil aku sudah diharamkan menangis. Anak laki-laki pantang menitikkan air mata. Bagitu orang-orang dewasa menasehatiku. Kala itu aku meringis kesakitan, jatuh dari pohon jambu rumah kakekku. Boros air mata adalah aib bagi anak l
aki-laki. Sehingga saat terpaksa menangis, aku harus mencari tempat bersembunyi. (lebay.com)

Baca Juga


Kalau pernah menonton film soal anjing seperti "Lassie" (2005) atau "Marley and Me" (2009) dan Anda sudah mewek, saya sarankan membawa tissue saat akan menonton "Hachiko: A Dog’s Story". Yeah, barangkali sedikit membantu mengusap air mata atau malah mengelap ingus yang meler... (:Saat menonton "Marley and Me" hampir saja air mataku tumpah pada adegan Marley sakit-sakitan dan ingin tidur luar rumah. Termasuk adegan Marley disuntik mati dan dikuburkan pun tak membuatku menangis. Meski begitu, film yang dibintangi Jennifer Aniston itu menjadi film fa
voritku. Sampai-sampi file MPEG-nya aku copy ke hard disk... he he he)

"Hachiko: A Dog’s Story" terinspirasi dari kisah nyata seekor anjing bernama Hachiko yang hidup di Jepang, tahun 1923-1935. Di d
epan Stasiun Shibuya bahkan didirikan sebuah monumen patung anjing secara khusus untuk mengenang kesetiaan Hachiko pada majikannya. Kisah lengkapnya lihat di sini, http://id.wikipedia.org/wiki/Hachiko. Kisah Hachiko, sebelumnya pernah dibuat film versi Jepang berjudul "Hachiko Monogatari" yang produksi tahun 1987. Telah banyak pula yang mengulas film Hachiko versi Amerika. Antara lain, baca di sini, http://bicarafilm.com/baca/2010/02/13/hachiko-kesetiaan-pengabdian-dan-cinta.html. Simak juga ulasannya di sini, http://oase.kompas.com/read/2010/03/23/03195823/Hachiko..Kisah.Anjing.Setia.Sampai.Mati, atau http://www.kapanlagi.com/a/hachiko-a-dogs-story.html.

Menonton film ini seolah sang sutradra, Lasse Hallstrom membagi kisah itu menjadi tiga bagian. Sepertiga pertama, penonton diajak merasai bagaimana lucunya si kecil Hachiko. Sepertiga kedua senangnya melihat Hachiko sudah besar. Sepertiga terakhir, memperlihatkan bagaimana kesetiaan, pengabdi
an dan rasa sayang Hachiko kepada tuannya. Adegan yang sederhana, namun justru membuat haru.

Cerita dalam film ini dibuka dengan adegan di sebuah ruang kelas Sekolah Dasar. Ronnie seorang siswa bercerita kepada temen-temannya tentang Hachiko, anjing kakeknya yang dianggap sebagai pahlawan. Dari cerita Ronnie itulah keseluruhan kisah hidup Hachiko dibingkai.


Anjing kecil berjenis Akita Inu tanpa nama diperlihatkan berasal dari Jepang. Oleh seorang biksu, anjing kecil itu dikirimkan ke Amerika. Namun sesampai di Bedridge Station, sebuah stasiun kereta api, anjing kecil itu terlepas. Malam itu, Profesor Parker Wilson, diperankan Richard Gere, pulang dari tempat kerjanya mendapati anjing kecil itu tersesat tanpa tuan di stasiun. Karena tidak ada yang mau mengurus, Prof Parker memutuskan membawa anjing itu ke rumahnya sambil menunggu pemilik aslinya menghubungi. Sayang istrinya, Cate, dimainkan Joan Allen, tidak menyukai rumahnya ada binatang peliharaan. Berbagai cara Parker mengembalikan anjing itu kepada pemiliknya, termasuk menyebar pamflet. Namun seiring waktu dan melihat hubungan Hachi dan suaminya yang begitu akrab, akhirnya Cate menerima anjing itu berada di rumah mereka.


Seiring dengan berjalannya waktu, Hachi tumbuh besar. Suatu pagi Prof Parker akan berangkat mengajar ke kampus naik kereta api. Hachiko tiba-tiba lari mengejar tuannya. Anjing itu ternyata berniat mengantar Prof Parker ke stasiun. Kebiasaan itu terus berlanjut. Setiap p
agi Hachi mengantar dan ketika sore hari Hachi sudah duduk manis di depan pintu masuk stasiun, menyambut kedatangan sang tuan.

Hingga suatu hari, ketika Prof Parker hendak berangkat bekerja, gelagat aneh ditunjukkan oleh Hachiko. Ajing itu seolah tak memperbolehkan Prof Parker meninggalkan rumahnya. Meskipun akhirnya ia berhasil dibujuk dan bersedia mengantarnya ke stasiun. Seperti biasanya, sesampai di stasiun, Hachi disuruh pulang. Namun sebelum pulang kedua sahabat itu bermain-main terlebih dahulu di halaman stasiun. Inilah pertemuan terakhir Hachiko dengan Prof Parker. Sebab setelah itu, Parker meninggal saat memberikan mata kuliah di depan mahasiswanya.

Hachiko mungkin tidak mengenal arti kematian. Sehingga setiap sore, ia kembali ke stasiun menunggu kedatangan Prof Parker. Hingga malam hari yang ditunggu tak kunjung datang, namun ia masih tak beranjak.
Mulai hari itu, Hachi menghabiskan hari-harinya di depan stasiun. Setiap pukul lima sore Hachi ia selalu duduk dan menunggu Prof Parker kembali. Anjing itu tak pernah mengerti bahwa tuannya tak akan pernah kembali. Hachi pun tak lagi tinggal di keluarga Prof Parker setelah mereka menjual rumah lama dan pindah rumah. Hachiko memilih tidur di bawah lokomotif tua di stasiun.

Musim salju, semi, panas dan musim gugur terus berganti namun Hachiko setia menanti. Saking terbiasanya berada depan stasiun, para penumpang banyak yang menyapanya. Bahkan ia mendapat makanan dan m
inuman dari para penjual makanan, serta orang-orang yang berempati padanya. Kisah Hachiko itu kemudian tersebar setelah seorang jurnalis mengangkat kisah itu dan memuatnya di surat kabar.

Sembilan tahun menunggu, Hachiko semakin tua. Tubuhnya kotor tak terawat. Anjing itu juga tak lincah lagi. Sampai suatu waktu ketika hujan salju, anjing itu mati dan ia masih menanti.
Boleh jadi di dunia nyata, adakalanya anjing tak setia pada majikannya. Namun manusia lebih banyak tak setia pada anjingnya. Manusia boleh bersedih saat anjing kesayangan mati. Tapi bukan karena anjing itu mati, melainkan karena merasa tak punya anjing lagi. Tangisan boleh menderu-deru, tapi belum kering tanah kuburan anjing kesayangannya itu, sang tuan telah mendapat anjing baru sebagai penggantinya. Begitulah manusia, sulit bersetia termasuk masalah cinta.

Selama ini, anjing banyak memiliki konotasi negatif di dalam kehidupan sehari-hari. Anjing sering diidentikkan seperti karakter penjilat, oportunis, najis mughalazah, dan hanya setia pada yang memberi makan. Yang pasti, kisah Ashabul Kahfi adalah kisah otentik tentang kesetiaan seekor anjing yang disebutkan dalam Al Quran. Tidak hanya sembilan tahun seperti Hachiko menunggu majikannya di depan stasiun. Namun 309 tahun setia menunggu tuannya yang tertidur panjang di dalam gua. Dalam artian positif, manusia tampaknya perlu belajar pada seekor anjing soal kesetiaan.

(seluruh gambar diambil dari www.google.com)

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hachiko"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel