-->

Demam Batu Akik Melanda

Ini akikku mana akikmu?
 BEBERAPA bulan terakhir, demam batu mulia, batuan bercorak atau akik hingga batuan alam polesan makin digandrungi berbagai kalangan di Kebumen. Mulai dari pejabat, pegawai negeri, polisi, TNI, jaksa, petani, karyawan pabrik, guru, dokter hingga pengusaha euforia dengan batu.
    Fenomena ini cukup menarik mengingat di era 80-an hingga 90-an, batu akik di Kebumen identik dengan perhiasan murah yang dijual di emperan toko. Batu akik banyak dipakai kaum marjinal yang tidak sanggup  membeli emas namun ingin tetap bergaya. Pemakai akik bahkan diidentikkan sebagai dukun karena mengangap batu akik bertuah dan punya daya magis. Meski masih ada yang berbau klenik, saat ini terjadi pergeseran karena sebagian penggemar mulai melihat sebagai estetika.
    Ya, semakin banyak penggemar akik berdampak bergairahnya pasar. Permintaan batu  utamanya batuan khas Kebumen atau Luk Ulo cukup tinggi. Sejumlah workshop maupun perajin batu akik selalu  dipadati pengunjung. Sebut saja Dasa Stone di Jalan Kolonel Sugiyono, Badar Besi di Jalan Pasar Rabuk dan di Bammas Stone di Jalan Es Bening Kelurahan Panjer. Konsumen tidak hanya dari masyarakat lokal tetapi banyak berasal dari luar Kebumen.
    "Memang minat masyarakat terhadap batu akik mulai meningkat, tidak hanya orang tua tetapi di kalangan anak muda," ujar Dasa Warsono (50) pemilik Dasa Stone, Jumat (3/10/2014)
.

Koleksi Batu Akik Kebumen
     Hal yang sama diakui oleh Bambang Haryono (48) yang mengelola bengkel batu akik dan batu mulia Bammas Stone. Tak hanya mencari batu akik, masyarakat juga mulai hobi terhadap batuan alam baik batu suiseki atau yang sudah dipoles alias biseki. Untuk batu jenis ini, peminatnya dari dalam negeri hingga hingga mancanegara.
    "Batu-batu ini hasil perburuan di sejumlah wilayah di Kebumen," ujar Bambang Haryono yang memiliki ratusan koleksi batuan alam poles di bengkelnya.
    Harga batuan alam ini cukup berfariasi. Seperti batu badar besi hijau dibandrol Rp 7,5 juta, badar besi merah corak besi ditawarkan Rp 15 juta, batu konklomerat Rp 7,5 juta, batu jenis fosil galih kelor Rp 3,5 juta, fosil kayu sempur Rp 750.000.
    Demam batu juga terjadi di Gombong. Paling tidak terdapat lima workshop yang mengolah batuan dari bongkahan besar sampai menjadi cincin di kota tersebut. Salah satunya workshop "Bursa Batu"  milik Miming (42) di Jalan Pemuda 6 Kelurahan Wonokriyo, Gombong. Dalam mengelola usahanya, Miming bekerjasama dengan Agus (52), veteran perajin akik yang sudah malang melintang di dunia per-akik-an sejak 1972.
    "Kami baru buka sekitar empat bulan. Sudah lumayan ramai, kalau di rata-rata bisa menghasilkan 20-an batu yang bisa dijadikan cincin. Harganya bervariasi, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 1,5 juta," ungkap Miming mengaku omzet Bursa Batu miliknya mencapai Rp 20 juta/bulan.
    Harga batu akik sebenarnya tidaklah terlalu mahal, berkisar antara Rp 50.000 untuk jenis yaspis sampai Rp 1,5 juta untuk jenis badar besi pancawarna. Tetapi jika muncul corak unik dan langka dari sebuah batu akik, harganya bisa melambung tinggi.
    Seperti yang diungkapkan oleh William (40), kolektor akik yang memiliki batu akik bercorak tulisan arab "Allah".  Dia tidak berniat menjual koleksi batu berjenis lavender tersebut dengan harga standar. William mengatakan, batu akik yang diperolehnya dari Desa Ginandong, Karanggayam tersebut akan dilepas.
    "Tapi kalau ada kolektor yang berani menawar Rp 66.666.000 saya lepas," tandasnya seraya dia mengaku memegang batu akik jenis chalcedony bercorak ikan berwarna putih milik seorang kolektor yang dititipkan kepadanya untuk dipoles.

 



Penggemar Batu Akik







Penggemar Fanatik
    Berbeda dengan William yang masih mau menjual koleksinya, Song Ming (60), termasuk kolektor akik yang bisa dikatakan fanatik yang sama sekali tidak berniat menjual koleksinya berapapun harganya. Pria yang mengaku sudah 35 tahun mengkoleksi akik tersebut juga tidak pernah mempermasalahkan harganya ketika berhasrat membeli batu akik yang disukainya.
    "Saya nggak pernah mikirin harga, berapa pun saya beli asal saya cocok. Saya juga tidak berminat berbisnis akik, selama 35 tahun mengkoleksi batu tidak satupun yang saya jual," ujar Song Ming mengaku bercita-cita agar Kebumen punya perkumpulan penggemar batu akik yang resmi.
    Bahkan kalau bisa mendirikan tempat pelelangan batu akik yang resmi. Kalau bisa ada perkumpulan, bahkan kalau perlu kita bikin tempat rumah lelang seperti rumah lelang Christie di London di mana penjual dan kolektor bertemu di satu tempat melakukan lelang.
    Meskipun gemar mengkoleksi akik, Song Ming bukan tipe orang yang senang memakai cincin atau kalung. Menurut dia, tujuan mengkoleksi batu akik hanya untuk menikmati keindahan motif atau corak yang tergambar pada batu koleksinya. Baginya, mengkoleksi batu sama seperti mengkoleksi lukisan. Sang pemilik mendapat kepuasan batin ketika memandang keindahan yang tergambar pada koleksinya.
Batu Akik Kebumen

    Soal harga juga tidak dipermasalahkan oleh Giyono (42),  kolektor akik yang mengaku telah menghabiskan Rp 50 juta untuk mengoleksi akik. Kepala Desa Kedungjati Sempor ini pun mengungkapkan, dia mengkoleksi ratusan cincin  akik serta bongkahan batu yang dipoles sebagai aksesoris penghias rumahnya.
    Baginya, selain sebagai kesenangan, mengkoleksi akik juga sebagai wujud kebanggaan sebagai warga Kebumen yang dianugerahi Tuhan kekayaan alam terutama batuan yang indah. Giyono juga bercita-cita agar bisnis batu akik di Kebumen bisa lebih maju dari daerah lain.

    "Dari segi bisnis batu akik Kebumen masih kalah dengan daerah lain meskipun memiliki kualitas yang lebih baik," katanya mengakui secara marketing Kebumen masih kalah dibandingkan dengan daerah lain. (***)



Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Demam Batu Akik Melanda"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel