Empat Hari Tak Terlupakan di Pulau Lombok
08.15
Add Comment
Jalan Raya di Kawasan Pantai Senggigi |
MENGUNJUNGI Pulau Lombok adalah salah satu mimpi saya yang terwujud. Lama sekali ingin membuktikan kabar keindahan alam dan keunikan tradisi dan budaya suku-suku di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dan, akhirnya, 23-26 Oktober 2014 lalu saya mewujudkan mimpi, menjejakkan kaki di tempat-tempat yang sebelumnya hanya melihat di televisi, koran maupun internet.
Lombokkkkkk!!!!! Begitu kencang saya berteriak saat turun dari pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 0274. Padahal saat sampai di Praya Lombok International Airport waktu menunjukkan pukul 20.00 WITA. Norak banget, ya biarin saja. Secara, lebih banyak penumpang lain yang jauh lebih histeris mendapati dirinya sudah berada di Lombok.
Berfoto narsis dengan latar belakang tulisan “Bandar Udara Internasional Lombok” menjadi hal pertama yang dilakukan sebagian penumpang setelah sampai di terminal kedatangan. Ada juga yang mimilih mejeng di depan poster “Selamat Datang di Lombok” yang dipasang Angkasa Pura. Tetapi yang lebih tertarik sebuah poster Surfer Boys, bergambar tiga anak memegang papan surving di pantai saat sunset. “Lombok is always a good idea” begitu bunyi tulisannya.
Selama tiga malam, saya menginap di Puri Senggigi Hotel, sebuah hotel melati di Jalan Raya Senggigi, Lombok Barat sekitar satu jam perjalanan dari airport. Meski secara tanggal saya di Lombok selama empat hari, tetapi hari efektif hanya dua hari karena saya datang Kamis malam dan Minggu pagi harus sudah terbang ke Yogyakarta.
Lokasi tempat saya menginap, menurut petugas resepsionis hotel berjarak sekitar 1,5 km dari Pantai Senggigi. Dan malam pertama, saya sulit pun tidur di hotel. Bukan karena hotel yang tak nyaman, tetapi lebih karena tak sabar menunggu pagi.
Sebait Puisi di Pantai Senggigi
"Dunia itu seluas langkah kaki, Jelajahi dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya” - Soe Hok Gie
Pagi buta dengan bekal kamera, saya berjalan kaki menyusuri pantai kawasan Pantai Senggigi. Bentang pantai yang luas, pasir putih, dan lambaian pohon kelapa di tepi pantai adalah perpaduan yang sempurna. Tak hanya ingin memotret, saya tiba-tiba ingin sekali menulis puisi.
Hey Ju, di Senggigi aku menulis puisi. Tentang aku, kamu, dan anjing kecil yang kau beri nama Choky. Hey Ju, satu penyesalanku berada di pantai yang Indah ini adalah tanpamu.
Yeah, Pantai Senggigi hanya secuil keindahan di Pulau Lombok. Ternyata ada ratusan destinasi yang layak disinggahi. Di Kabupaten Lombok Barat (Lombar) saja terdapat puluhan objek wisata yang terdiri atas wisata alam pegunungan, pantai, danau, taman laut dan flora dan fauna.
Selain Pantai Senggigi, di wilayah utara terdapat 10 objek seperti Taman Narmada, Pura Lingsar, Taman Wisata Suranadi, Padang Golf Golong, Dusun Tradisional Karang Bayan, air terjun Gripak Gunungsari, Pemandian Aik Nyet, Hutan Sesaot dan Agrowisata Gunung Jae. Di bagian selatan ada Gunung Pengsong, Sentra gerabah Banyumulek, Pantai Kuranji, Pantai Cemara Tebel, Gili (pulau kecil) Nunggu Sekotong, Gili Gede Sekotong, Gili Tangkong, Gua Jepang Sekotong, dan wisata pantai Mekaki, Labuan Poh, Sepi, Pengantap, dan Blongas.
Pantai Gili Trawangan |
Secuil Surga Itu Bernama Gili Trawangan
Kemudian di Kabupaten Lombok Utara terdapat pulau kecil yang disebut sebagai salah satu surganya NTB; Gili Trawangan. Untuk menuju Gili Trawangan bisa ditempuh dari Kota Mataram dengan naik taksi melalui sepanjang jalan Pantai Senggigi dilanjutkan dengan menyeberang melalui Pelabuhan Bangsal.
Di sepanjang perjalanan antara Pantai Senggigi ke Pelabuhan Bangsal, mata kita akan dimanjakan oleh birunya laut. Salah satu spot paling menarik ialah saat berada di Bukit Malimbu atau Malimbu Hill. Dari atas ketinggian bukit itu kita dapat disaksikan indahnya Pantai Nipah dan tiga gili yakni Gili Trawangan, Meno dan Gili Air. Di bukit ini, wisatawan dapat merasakan sensai tandem paralayang menikmati keindahan pantai dari udara.
Gili Trawangan merupakan salah satu dari tiga gili yang berada di sebelah barat laut Lombok yakni Gili Meno dan Gili Air. Gili Trawangan memiliki panjang 3 kilometer dan lebar 2 kilometer. Dengan populasi penduduk sekitar 800.000 jiwa, pulau ini mempunyai fasilitas wisata terlengkap dibandingkan dengan dua pulau lainnya. Bule-bule berjemur di pantai menjadi pemandangan umum, sebagian lebih memilih santai minum bir di kafe yang tersebar di pinggir pantai. Pantas jika Gili Trawangan disebut sebagai eropa-nya Lombok.
Jika di Pantai Senggigi, saya hanya menikmati laut dari daratan, rugi jika di Gili Trawangan tidak merasakan dalam arti yang sesungguhnya. Scuba diving dan snorkeling di pantai Gili Meno salah satu pengalaman istimewa dan tak akan pernah terlupakan. Merasakan air laut yang jernih, menyaksikan terumbu karang yang terjaga dan aneka ikan dan biota laut lain secara lebih dekat memiliki sensasi tersendiri.
Saya bersama tujuh orang menyewa peralatan snorkeling dan perahu motor mengantar dan menunggui kami selama bermain air. Untuk pengalaman ini, setiap orang membayar Rp 150.000. Tetapi bagi yang hanya ingin keliling Gili Trawangan bisa juga menyewa sepeda angin yang disewakan penduduk setempat atau naik cidomo sejenis kereta kuda dengan tarif Rp 125.000 untuk tiga orang.
Dua orang perempuan Suku Sasak menenun songket di Desa Sukarara, Lombok Tengah |
Tenun Songket Perempuan Sasak
Puas dengan wisata pantai, mengenal tradisi dan budaya Suku Sasak adalah pelajaran berharga di saat berada Pulau Lombok. Bukankah saat melakukan perjalanan, bukan berapa banyak oleh-oleh yang kita bawa pulang, tetapi berapa banyak pelajaran hidup yang berhasil kita peroleh. Jika ingin membawa pulang ke dua-duanya, mengunjungi Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah adalah pilihan tepat.
Di desa yang berada sekitar 25 kilometer dari Kota Mataram ini, kerajinan tenun songket khas Suku Sasak masih lestari. Di desa ini, menurut Musthofa (52), tokoh masyarakat Desa Sukarara, mahir menenun songket masih menjadi kewajiban mutlak bagi perempuan sebagai syarat memasuki jenjang perkawinan. Jika tak bisa menenun kain, jangan harap bisa menikah dengan pria pujaan hatinya.
”Kain hasil tenunan perempuan itu nantinya akan dihadiahkan kepada keluarga calon suami. Secantik apapun jika tak bisa menenun jangan harap bisa nikah. Jika nekat bisa kena sanksi adat," katanya.
Seni tenun diajarkan pada perempuan Sasak sejak usia belia, bahkan ada yang sudah mulai belajar sejak usia tujuh tahun. Seperti Warni (42), ibu satu anak ini mengaku sudah belajar menenun ketika dia berusia tujuh tahun. "Kalau tak bisa nenun tak bisalah kita menikah," kata Warni yang mengaku menenun selama delapan jam per hari.
Kain yang ditenun secara manual dan sama sekali tidak menggunakan mesin ini memiliki beragam motif. Mulai dari subhanale, bulan bergantung, motif ayam, bintang empat hingga yang lagi ngehitsadalah motif rangrang. Tiap motif memiliki makna sendiri-sendiri. Harganya, mulai dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah, tergantung ukuran, tingkat kehalusan kain dan kerumitan motif.
Untuk kain ukuran taplak meja kecil ditawarkan antara Rp 75.000 hingga Rp 150.000. Sedangkan untuk selendang, syal, dan ikat kepala Rp 150.000. Kain sarung bisa Rp 500.000. Sedangkan kain tenun dengan ukuran yang lebih lebar dan motif rumit dibandrol Rp 1,5 jutaan hingga Rp 3 jutaan. Saya memilih membeli satu syal seharga Rp 150.000 untuk kenang-kenangan.
Selain membeli kain tenun songket, di desa ini wisatawan bisa melihat langsung perempuan suku sasak menenun songket. Bahkan kita juga diberi kesempatan belajar cara menenun. Atau yang ingin narsis bisa berfoto mengenakan pakaian adat Suku Sasak dan foto dengan latar belakang bangunan tradisional.
Ketenangan di Kampung Sasak Ende
Mengenal suku sasak, tak lengkap rasanya sebelum mengunjungi kampung tradisional suku sasak. Untuk itu, saya singgah di kampung Sasak Ende, yang terletak tidak jauh dari Desa Adat Sade. Di sini, hanya terdapat sekitar 30 kepala keluarga. Dibandingkan dengan Desa Sade, kampung ini jauh lebih tradisional. Jika ingin menyaksikan masyarakat yang masih benar-benar tradisional, memilih ke Sasak Ende adalah pilihan yang tepat.
Di desa ini suasana sangat tenang. Wisatawan yang mengunjungi desa adat ini akan disambut ramah oleh pemandu yang merupakan penduduk setempat. Wisatawan akan diajak mengelilingi sejumlah rumah adat khas Suku Sasak terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan rumbia. Tak jauh dari rumah utama, terdapat bangunan lumbung padi, dapur serta dan kandang ternak. Karena atap serambi yang pendek, untuk memasuki rumah seseorang harus menunduk.
“Bangunan ini mengandung filosofi bahwa seorang tamu harus sopan dan menghormati si empunya rumah,” kata seorang pemandu.
Mengunjungi sejumlah tempat, saya menyakini Pulau Lombok lambat laun lepas dari bayang-bayang popularitas pariwisata Bali. Alam yang indah ditambah kekayaan budaya dan kreatifitas seni dan tradisi penduduknya adalah modal sosial untuk menjadikan Lombok menjadi pilihan utama tujuan wisata. Maka perkataan apa yang ada di Bali dapat ditemukan di Lombok dan apa yang ada di Lombok tidak mesti didapatkan di Bali adalah benar adanya.
Numpang narsis di sejumlah spot di Pulau Lombok |
Sayang, keterbatasan waktu kunjungan membuat tidak semua daftar lokasi wisata di NTB bisa saya kunjungi. Salah satunya tempat yang belum kesampaian saya singgahi adalah Pulau Sumbawa. Ingin sekali menikmati keindah alamnya, dan mengenali tradisi serta budaya Suku Sumba. Tapi Minggu sebelum subuh, saya harus meninggalkan hotel karena waktu boarding pukul 05.30 WITA. Meninggalkan Pulau Lombok dengan maskapai yang sama dengan nomor penerbangan JT 0273, sinar matahari pagi yang mengitip di cakrawala mengantar pesawat yang tinggal landas. Terima kasih, Lombok untuk empat hari yang tak terlupakan.
Pulau Sumbawa tunggu kedatanganku!!!
0 Response to "Empat Hari Tak Terlupakan di Pulau Lombok"
Posting Komentar